Narkoba adalah singkatan
dari Narkotika dan Obat berbahaya. Selain Narkoba, istilah lain yang
diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA yaitu
singkatan dari Narkotika, Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah
ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko yang
oleh masyarakat disebut berbahaya yaitu kecanduan/adiksi.
Narkoba atau NAPZA merupakan bahan/zat yang bila masuk ke dalam
tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga jika
disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial.
Karena itu Pemerintah memberlakukan Undang-undang (UU) untuk penyalahgunaan
narkoba yaitu UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 tahun 1997
tentang Narkotika.
Menurut kesepakatan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga
disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi
kesehatan reproduksi (termasuk HIV/AIDS dan narkoba) dan dilindungi secara
fisik maupun mental. Namun realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan
kesepakatan tersebut, sudah ditemukan anak usia 7 tahun sudah ada yang
mengkonsumsi narkoba jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia 8 tahun
sudah memakai ganja, lalu di usia 10 tahun, anak-anak menggunakan narkoba dari
beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya
(riset BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia).
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian
narkoba oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah
12.305. Data ini begitu mengkhawatirkan karena seiring dengan
meningkatnya kasus narkoba (lihat data narkoba BNN 2007) khususnya di kalangan
usia muda dan anak-anak, penyebaran HIV/AIDS semakin meningkat dan
mengancam. Dan dari keseluruhan kasus HIV/AIDS, hampir 50% penularannya
dikarenakan penggunaan jarum suntik (narkoba) (Ditjen PPM&PL Depkes,
2007). Penyebaran narkoba menjadi makin mudah karena anak SD juga sudah
mulai mencoba-coba mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar narkoba menyusup
zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan
tembakaunya (Joyce Djaelani Gordon-aktifis anti drugs & HIV/AIDS, 2007).
Hal ini menegaskan bahwa saat ini perlindungan anak dari
bahaya narkoba masih belum cukup efektif. Walaupun pemerintah dalam UU Perlindungan
Anak nomor 23 tahun 2002 dalam pasal 20 sudah menyatakan bahwa Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (lihat lebih lengkap di UU
Perlindungan Anak). Namun perlindungan anak dari narkoba masih jauh dari
harapan.
Narkoba adalah isu yang kritis dan rumit yang tidak bisa
diselesaikan oleh hanya satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya
masalah individu namun masalah semua orang. Mencari solusi yang tepat
merupakan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan dan memobilisasi semua pihak
baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas lokal.
Adalah sangat penting untuk bekerja bersama dalam rangka melindungi anak dari
bahaya narkoba dan memberikan alternatif aktivitas yang bermanfaat seiring
dengan menjelaskan kepada anak-anak tentang bahaya narkoba dan konsekuensi
negatif yang akan mereka terima.
Anak-anak membutuhkan informasi, strategi, dan kemampuan
untuk mencegah mereka dari bahaya narkoba atau juga mengurangi dampak dari
bahaya narkoba dari pemakaian narkoba dari orang lain. Salah satu upaya
dalam penanggulangan bahaya narkoba adalah dengan melakukan program yang
menitikberatkan pada anak usia sekolah (school-going age oriented).
Ada tiga hal yang harus diperhatikan ketika melakukan program anti
narkoba di sekolah. Yang pertama adalah dengan mengikutsertakan keluarga.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sikap orangtua memegang peranan
penting dalam membentuk keyakinan akan penggunaan narkoba pada anak-anak.
Strategi untuk mengubah sikap keluarga terhadap penggunaan narkoba termasuk
memperbaiki pola asuh orangtua dalam rangka menciptakan komunikasi dan
lingkungan yang lebih baik di rumah. Kelompok dukungan dari orangtua
merupakan model intervensi yang sering digunakan.
Kedua, dengan menekankan secara jelas kebijakan “tidak pada
narkoba”. Mengirimkan pesan yang jelas ”tidak menggunakan” membutuhkan
konsistensi sekolah-sekolah untuk menjelaskan bahwa narkoba itu salah dan
mendorong kegiatan-kegiatan anti narkoba di sekolah. Untuk anak sekolah harus
diberikan penjelasan yang terus-menerus diulang bahwa narkoba tidak hanya
membahayakan kesehatan fisik dan emosi namun juga kesempatan mereka untuk bisa
terus belajar, mengoptimalkan potensi akademik dan kehidupan yang layak.
Terakhir, meningkatkan kepercayaan antara orang dewasa dan
anak-anak. Pendekatan ini mempromosikan kesempatan yang lebih besar bagi
interaksi personal antara orang dewasa dan remaja, dengan demikian mendorong
orang dewasa menjadi model yang lebih berpengaruh.
0 komentar:
Posting Komentar